Monday, April 5, 2010

Sinkronisasi Hati dengan Pikiran



Apa yang dimaksud Sinkronisasi Hati dengan Pikiran?

Suatu keadaan dimana seorang individu dapat memfungsikan hati dan pikirannya secara efektif dalam menghadapi berbagai macam situasi. Biasanya individu seperti ini mampu menilai secara obyektif dan netral, tidak berat sebelah.
Terlebih dahulu, kita harus mengerti arti “pikiran” dan “hati” pada bahasan ini.
Hati
Dalam bahasan ini, hati akan diidentikkan dengan “emosi” dan “perasaan”. Hati menyediakan solusi sebuah masalah secara emosional, dan terkadang tidak sesuai nalar.
Pikiran
Dalam bahasan ini, pikiran diidentikkan dengan “logika”. Logika berperan dalam menyediakan alternatif jalan keluar dari suatu masalah secara analitis dan bisa diterima nalar.
Konflik antara hati dan pikiran
Konflik antara hati dengan pikiran terjadi ketika individu menghadapi suatu masalah. Hati memainkan pernanan penting dalam memberi reaksi emosional individu, sedangkan pikiran berusaha tenang dan mereka-reka puzzle yang membentuk alternatif jalan keluar terbaik berdasarkan nalar. Reaksi emosional hati terkadang tidak sesuai dengan logika, sehingga disinilah terjadi pertentangan.
Apa yang terjadi bila hati dan pikiran tidak sinkron?
Bila hati yang lebih dominan
Efeknya, individu hanya akan mempermalukan diri sendiri karena terlalu menuruti emosinya. Individu akan dicap sebagai orang yang over-sensitif (atau bahasa gaulnya, sensi) dan temperamental. Bila dibiarkan berlarut-larut, individu akan terkenal sebagai drama queen / king (terlalu mendramatisir suasana).
Individu seperti ini biasanya akan memiliki karakter yang sangat emosional, temperamental, over-reaktif, dan moody, mood-nya sangat mudah berubah-ubah sesuai dengan suasana hati (sangat reaktif terhadap suasana hati). Positifnya, individu dengan karakter ini sangat peka terhadap sekitarnya, oleh karena itu kemampuan berempatinya tinggi. Namun jika kemampuan berempati ini terlalu tinggi, siap-siap saja mengalami konflik dalam persahabatan karena sifat yang dianggap “sok mengerti-sok paham” oleh orang lain.
Bila logika yang lebih dominan
Pun jika individu terlalu menuruti logikanya. Individu tersebut akan dicap sebagai seorang yang keras kepala dan dingin. Malah, dalam beberapa ajaran agama tertentu, akan dianggap sekuler.
Individu dengan karakter seperti ini, memiliki kepala dingin dan tidak mudah tersulut emosinya. Saat adu argumen, ia mampu membalikkan argumen dengan baik, karena kemampuan nalarnya yang tinggi. Sisi negatifnya, ia menjadi keras kepala karena menganggap logikanyalah yang selalu benar, dan hal ini memicu timbulnya sikap selalu mau menang sendiri dan akhirnya berkembang menjadi egois. Individu dengan karakter seperti ini juga termasuk susah berempati terhadap sekitarnya.
Menyelaraskan hati dengan pikiran
Cara untuk membuat hati “akur” dengan pikiran, salah satunya adalah dengan mencari atau membuat waktu khusus untuk menyendiri dan memikirkan masalah-masalah yang sedang dihadapi. Secara alami, hati akan memberi reaksi-reaksi emosional, dan logika dengan sendirinya akan berusaha meredam ledakan-ledakan emosi yang berlangsung sehingga pada titik tertentu, akan tercapai kondisi tenang dan terang dalam pikiran dan hati, dan biasanya pada saat inilah sebuah solusi yang dianggap terbaik akan muncul dalam wujud ilham.
Bagaimana caranya?
Terlebih dahulu, individu harus memikirkan suatu masalah dalam kondisi setenang-tenangnya. Saat hati mulai memberi reaksi-reaksi emosional, langsung fungsikan pikiran untuk meredam agar ledakan emosi tidak perlu sampai terjadi. Caranya bisa menarik napas panjang sebanyak paling tidak 3 kali saat diri kita mulai dikuasai emosi. Cara ini biasanya mujarab untuk menenangkan pikiran, karena oksigen yang dihirup akan “menyegarkan” pikiran.
Apa yang terjadi bila hati dengan pikiran dapat sinkron?
Yang paling tampak, individu akan cenderung menghadapi masalah dengan kepala dingin, namun tetap dapat bisa berempati, sehingga memudahkannya dalam mengambil keputusan atau alternatif yang dapat memuaskan semua pihak.
Selain itu, individu juga akan menjadi lebih legowo dalam menerima keputusan yang kurang memuaskan baginya. Ia akan menerimanya tanpa banyak cingcong maupun protes.
Individu dengan karakter seperti ini juga tidak mudah meledak-ledak saat emosinya tersulut, melainkan diam, berpikir, dan pada saatnya dia menemukan celah, dia akan mengemukakan alasan dan pandangannya. Bila apa yang dia katakan dijadikan argumen untuk menyerangnya, ia akan diam, dan berlalu, menjauh, cuek, karena dia tidak mau berlarut-larut dalam menghadapi sesuatu. “Lebih baik biarkan waktu yang menunjukkan kebenarannya,” begitulah prinsipnya.